Cerpen oleh Bella Danny Justice
Sekeras apa pun aku mencoba, aku tetap tidak bisa melupakan bayangan
pria itu. Karena saat itulah pertama kalinya aku merasakan getar cinta,
ya..walau kata orang yang lebih tua adalah cinta-monyet, tapi aku pikir
yang aku alami ini berbeda. Awal masa SMP ku dulu penuh dengan kecerian
dan kebahagiaan. Aku punya orangtua yang begitu perhatian terhadapku.
Sampai peristiwa tragis itu datang menimpaku yang duduk di kelas 8.
Sulit tentunya bagiku untuk melupakan kejadian yang terjadi terhadap
kedua orangtuaku. Mereka meninggal ketika sedang dalam perjalanan akan
menjemput aku dari rumah tante Karina.
Hidupku diselimuti oleh awan gelap. Sejak itu aku menjadi anak yang pendiam dan lebih suka menyendiri. Karena sikapku lah akhirnya teman-teman menjauhi aku. Dan dalam keadaanku yang dirundung pilu inilah, pria itu, Ivan, datang menyelamatkan aku yang terjebak jauh di dasar lembah kekelaman. Beruntunglah dia sekelas denganku. Dia orang yang sangat unik. Auranya begitu cerah dan hangat. Setiap orang yang ada didekatnya pasti merasa senang. Aku melihat dengan siapa saja ia berbicara. Mereka yang kala itu berbincang dengan Ivan selalu menampilkan senyum lebar sambil mata yang disipitkan.
Hidupku diselimuti oleh awan gelap. Sejak itu aku menjadi anak yang pendiam dan lebih suka menyendiri. Karena sikapku lah akhirnya teman-teman menjauhi aku. Dan dalam keadaanku yang dirundung pilu inilah, pria itu, Ivan, datang menyelamatkan aku yang terjebak jauh di dasar lembah kekelaman. Beruntunglah dia sekelas denganku. Dia orang yang sangat unik. Auranya begitu cerah dan hangat. Setiap orang yang ada didekatnya pasti merasa senang. Aku melihat dengan siapa saja ia berbicara. Mereka yang kala itu berbincang dengan Ivan selalu menampilkan senyum lebar sambil mata yang disipitkan.
Sampai pada suatu saat, dijam istirahat sekolah, hanya aku yang berada
dikelas dengan Ivan sedangkan yang lainnya pergi ke kantin. Aku tau ia
sedang tidur, ia menaruh kepalanya diatas meja dan melipat kedua
tangannya. Kepalanya menghadap ke arah kiri, tepat kearahku. Momen itu
benar-benar membuat rasa penasaranku semakin memuncak. Pada saat
tertidur saja ia dapat menarik perhatian orang yang melihatnya! Kemudian
aku menghampirinya. Aku memperhatikan wajahnya yang sedang berada
dialam mimpi. Dia begitu tampan, populer, dan tentunya...sangat hangat.
“apa kau sangat menyukai wajahku?” katanya sambil masih memejamkan
mata. Aku terkaget mendengar ucapannya. Ternyata ia tau bahwa aku
memperhatikannya? Aku sungguh malu sekali!
Ia membuka kelopak matanya dan menatapku. Aku pun berkata: “siapa yang
suka?! Aku hanya sedang lewat dan ingin pergi ke kantin.”
Sekarang ia sudah dalam posisi duduk yang benar, tapi ia terus
menghujamku dengan pertanyaan-pertanyaannya yang membuatku gugup. “ingin
pergi ke kantin ya? Bukankah kau selama ini tidak bereaksi terhadap
siapa pun dan apa pun yang dilakukan orang-orang disekitarmu? Kau tau,
terjebak dalam suatu masalah dan tak mampu untuk keluar dari masalah
tersebut adalah hal yang sangat mengerikan, lebih mengerikan dari kau
ditolak orang yang kau sukai.” Mendengar ucapan yang sangat dewasa
terlontar dari bibirnya, mataku langsung terbelalak. Orang ini tidak
seperti yang lainnya. Aku rasa kehidupanku tak akan sama lagi.
Perlahan aku mulai merajut tali pertemanan diantara kita. Hari demi
hari ku lewati penuh dengan senyuman bersamanya. Aku dapat merasakan
diriku yang dulu mulai muncul. Aku kembali aktif dan teman-teman yang
lainpun sepertinya merindukan diriku yang sesaat menghilang. Aku bisa
seperti ini berkat dia. Siapa lagi kalau bukan Ivan dan
wejangan-wejangannya setiap hari yang selalu mengiang ditelingaku.
Tetapi yang kutakutkan pun terjadi. Perasaan yang semula hanya sebagai
teman tumbuh melebihi batasnya. Aku menyukainya! Meskipun begitu, aku
tidak berani mengatakannya. Karena Ivan seorang yang populer bahkan
dikalangan kakak kelas. Semua murid perempuan disekolahku berebut untuk
menjadi orang yang spesial dihati Ivan. Tidak sedikit dari mereka yang
berwajah cantik, pintar, dan mempunyai keahlian dibidangnya
masing-masing seperti melukis, bermain musik, dll. Namun, yang aku tau,
tidak ada satupun dari mereka yang diterima oleh Ivan.
Siang itu aku menerima telfon dari kakak kelasku perempuan. Aku terhentak mendengar pertanyaannya.
“hei, apa kau ada hubungan spesial dengan Ivan?”
“t-tidak, aku hanya berteman dengannya.”
“apa kau menyukainya?”
“...........”
“hei, aku tanya apa kau menyukainya?!”
“aku..... tidak menyukainya.”
“baiklah kalau begitu.”
Entah mengapa setelah menerima telfon dari kakak kelas itu perasaanku
jadi tidak tenang. Keesokan harinya, saat aku sedang berjalan menuju
kelas melalui koridor sekolah, aku mendengar berita bahwa Ivan
berpacaran dengan seorang kakak kelas. Pikiranku otomatis langsung
menerka-nerka kalau kakak kelas yang berpacaran dengan Ivan adalah orang
yang menelfonku kemarin. T-tapi, kenapa dia menanyakan pertanyaan
seperti itu? Apa Ivan mengatakan sesuatu kepadanya?
Semenjak itu juga lah aku tidak pernah lagi berbicara ataupun
bertegur-sapa dengan Ivan. Ia seperti menghindar, dan aku pun
menghindarinya. Aku sangat menyukainya, tapi aku sadar orang yang ia
sukai yaitu kakak kelas tersebut. Aku tidak punya hak untuk bersikap
egois seperti ini. Aku ingin terbangun dari mimpi ini!!!!
“aku kira kau akan mati karena bermimpi, kalau begitu aku akan langsung
menghubungi cinta pertamamu di masa SMP itu.” cela Vivian kepadaku.
Aku
memimpikan masa itu lagi. Sudah beberapa kali ini terjadi ketika aku
merindukannya. Tak terasa 6 tahun sudah terlewati bersama dengan
kenangan tentang pria yang kusukai itu. Kini aku seorang mahasiswi yang
menekuni fakultas Sastra Jepang. Aku suka membaca manga atau komik. Dan
Vivian adalah teman terbaikku yang pernah ku miliki. Ia satu jurusan
denganku, tetapi ia sudah ingin cepat-cepat magang ke Jepang dan akan
berangkat 1 bulan lagi. Aku juga mempunyai keinginan yang sama seperti
Vivian, tapi aku rasa belum saatnya bagiku untuk meninggalkan Indonesia.
Masih ada yang harus aku selesaikan.
“ahh..kepalaku sedikit sakit.” Erangku sambil menyentuh kepalaku yang terasa pening.
“oh ya, tadi ku lihat ada pesan tuh dihapemu.” Ucap Vivian yang menggandeng tasnya.
“pesan dari siapa?” katanya lagi.
Tanpa
menunggu lama aku menekan tombol Open dan ternyata pesan dari teman
SMP-ku Florentina yang mengingatkan akan berlangsungnya acara Reuni SMP
kelasku. Ini menegangkan sekali. Reuni SMP kelasku, kelas 8-1, kelasku
dulu bersama Ivan. Hari itu akhirnya tiba.
Vivian
mengawasi hapeku dan rupanya ia juga ikut membaca pesan dari
Florentina. “waaw, jadi ga sabar besok nih ya mau ketemu pujaan hati?
Kaya apa ya dia sekarang? Tambah ganteng atau tambah jelek? Hehe..”
Vivian memang paling rajin kalau meledekku. Padahal sendirinya ia pun
belum punya pacar.
“kau
itu kalau bicara jangan sembarangan! Sudah ah, aku mau pulang.”
Menghindari Vivian sejauh mungkin adalah jurus yang jitu. Kalau tidak,
wajahku pasti langsung memerah karena ia terus menggodaku tentang masa
lalu.
***
Reuni SMP kami diadakan di sebuah kafe. Florentina sudah mengurus
semuanya dari sebulan sebelumnya. Ini pertama kalinya kami bertemu
kembali, walaupun ada beberapa yang tidak dapat hadir tapi aku sangat
senang bisa melihat wajah-wajah teman SMP-ku yang dulu lugu sekarang
begitu berubah drastis.
Dia tidak ada. Aku mencari-cari sosoknya tapi sepertinya ia tidak
hadir. Aku sedikit kecewa, padahal ini kesempatanku untuk beretemu
dengannya setelah sekian lama kita tidak berjumpa. Apa yang
menghalanginya? Apa dia terlalu sibuk dengan dunianya? Aku tidak ingin
ambil pusing.
Acara reuni kami pun berjalan dengan lancar. Kami benar-benar menikmati
suasana keakraban yang terjalin malam itu. Tawa dan canda menghiasi
ruangan yang sudah kami pesan. Meskipun bahagia, aku tetap merasa ada
yang kurang. Aku ingin bertemu dengannya. Tapi kenapa dia mengabaikan
acara reuni yang mempertemukan kami? Apa dia tidak ingin bertemu
denganku?
“Sevilla, ada apa denganmu? Apa acaranya tidak menyenangkan?” aku tidak
sadar ternyata Florentina mendekatiku dan berbicara denganku.
“ah, tidak..acaranya meriah sekali. Aku suka.” Jawabku agak sedikit kaku.
“ah, aku tau! Kau pasti gelisah karena Ivan tidak datang. Betul, bukan?
Ayo mengaku saja. Hehe” candanya sambil menyenggol sikutku beberapa
kali karena aku tidak menjawabnya.
Dengan tersipu aku mengatakannya. “iya. Apa kau tau mengapa ia tidak hadir?” tanyaku serius.
“dia...” belum selesai Florentina menyempurnakan kalimat perkataannya seseorang menjawabnya.
“aku disini.” Kata orang itu.
“ah itu dia! Ivan kau telat 1 jam! Apa kau tidak tau Villa gelisah
menunggumu?! Dasar kau tukang telat!”oceh Florentina seketika itu juga
saat ia melihat Ivan sudah datang.
“Flo!
Ucapanmu berlebihan, aku tidak segelisah yang kau katakan. Kau, tau?!”
bantahku dengan cepat. Aku tidak mau Ivan melayang ke angkasa sedangkan
aku malu karena perkataan Florentina.
“sudahlah,
kalian gunakan momen ini untuk berbincang-bincang. 6 tahun adalah waktu
yang cukup lama untuk kalian berpisah. Aku akan mengurus anak-anak yang
lainnya.” Ujar Florentina yang melemparkan handuk kecil pada Ivan lalu
pergi meninggalkan kami di atap kafe berdua.
Aku
sungguh gugup dan tidak tau mau mulai pembicaraan dari mana. Untunglah
Ivan adalah orang yang asik, jadi tanpa terlihat kikuk ia mengajakku
kembali ke masa dulu SMP. Mengenang semua yang pernah terjadi, dan
kelucuan-kelucuan kami ketika masih memakai seragam putih biru.
Sebenarnya ada yang ingin kutanyakan kepada Ivan. Aku menyimpan rasa
penasaran ini sejak lama. Aku ingin mengetahui kebenarannya. Lalu aku
pun memberanikan diri bertanya pada laki-laki itu.
“kau ingat, dulu saat SMP kau pernah berpacaran dengan seorang kakak kelas kita?”
“tentu. Ada apa?”
“ada
seorang kakak kelas yang menelfonku waktu itu, dia menanyakan
hubunganku denganmu. Dia juga bertanya apa aku suka padamu atau tidak.
Apa dia adalah pacarmu? Kakak kelas yang sama dengan orang yang
menelfonku?”
“iya..”
“tapi
kenapa dia bertanya seperti itu kepadaku? Apa kau mengatakan sesuatu
kepadanya? Kalau ia suka padamu, kenapa tidak langsung mengatakannya?”
“bodoh...apa kau sebodoh itu?”
“a-apa maksudmu?”
“aku
menyukaimu. Sejak dulu...itu sebabnya aku meminta dia menanyakannya
padamu, tapi ternyata kau hanya menganggapku sebagai teman. Dan itu juga
yang membuatku jengkel. Aku dulu masih penuh dengan emosi. Setelah tau
ternyata kau menganggapku hanya sebagai teman, aku pun memutuskan untuk
berpacaran dengan kakak kelas itu dan menjauhimu...”
“a-apa? K-kau menyukaiku? Sejak dulu?”
“ya.
Aku minta maaf karna sudah menyakiti hatimu. Aku menghindarimu karna
aku ingin melupakanmu. Tetapi, sampai detik ini, aku bahkan belum bisa
menghapus bayangmu dari fikiranku. Aku selalu bermimpi bertemu denganmu.
Aku ingin mengatakan perasaanku padamu, tapi aku tidak tau info apapun
tentangmu sampai Florentina mengadakan reuni ini. Kau tau selama 1 bulan
aku menyiapkan diri matang-matang untuk berani menyatakan perasaanku
padamu. Hehe”
Aku
memeluknya. Mendekapnya erat dan menangis di pundaknya. Aku tidak
mengira reuni ini akan sangat berkesan. Ivan yang dingin dan cuek
mengungkapkan seluruh perasaannya kepadaku. 6 tahun penantianku selama
ini tidak berakhir menyedihkan. Aku tidak bisa berkata-kata aku sangat
bahagia malam itu. Mengetahui bahwa ia juga menyukaiku sungguh sebuah
anugrah. Aku tidak akan melepaskanmu lagi Ivan. Sudah cukup masa-masa
kelam diantara kita. Sekarang yang akan ada hanyalah kebahagiaan.
“aku
juga menyukaimu, kau tau?! Tapi aku tidak mengatakannya karna kau
terlalu cuek jadi aku takut kau akan menolakku dulu. Andai saja dulu aku
tau kau juga menyukaiku aku tidak harus menunggu selama ini bukan?”
ucapku sambil tetap memeluk Ivan.
Ivan
tertawa dalam pelukanku. Begitu indah dan membuatku tenang. “haha
Villa, kau tidak berubah. Aku sangat mencintaimu...tapi biar
bagaimanapun, aku bersyukur karna penantian kita tidak sia-sia. Aku
benar-benar bersyukur...terimakasih Tuhan.”
THE END
Tidak ada komentar:
Posting Komentar